Oleh : KH. Jalaluddin Rakhmat
Pada pertengahan tahun enam puluhan, saya membentuk keluarga
sederhana di tengah tetangga-tetangga yang sederhana dan di perumahan sangat
sederhana. Pendapat saya tentang agama juga sederhana. Pegangan saya Al-Quran
dan hadis, titik. Saya tidak suka pada peringatan maulid, karena tidak
diperintahkan dalam Al-Quran dan hadis. Saya tidak suka salawat yang
bermacam-macam selain salawat yang memang tercantum dalam hadis-hadis sahih.
Saya senang berdebat mempertahankan paham saya. Saya selalu menang, sampai saya
bertemu dengan Mas Darwan.
Mas Darwan adalah orang yang jauh lebih sederhana dari saya.
Mungkin pendidikannya tidak melebihi sekolah dasar. Ia pensiunan PJKA. Usianya
boleh jadi sekitar enam puluhan. Tetapi penderitaan hidup membuatnya tampak
lebih tua. Pendengarannya sudah rusak. Karena itu, ia sedikit bicara, banyak
bekerja. Ia sering memperbaiki rumahku tanpa saya minta. Ia sangat menghormati
saya, yang dianggapnya seorang kiyai muda di kampung itu. Padahal ia tahu bahwa
saya selalu datang terlambat ke mesjid untuk salat subuh.
Untuk mengisi waktunya, ia mencangkul petak-petak kosong
yang terletak di antara rel kereta api di dekat stasiun Kiaracondong. Ia
menanaminya dengan ubi. Pada suatu hari, ketika ia asyik mencangkul, kereta api
cepat dari Yogya menyenggol belakangnya. Ia jatuh terkapar berlumuran darah.
Ketika saya mengunjunginya di kamar gawat darurat, saya mendapatkan tubuh Mas
Darwan sudah dipenuhi dengan slang-slang transfusi. Saya melihat matanya
mengedip padaku dan pada isterinya. Istrinya mendekatkan telinganya ke mulut
Mas Darwan. Saya tidak mendengar apa-apa. Sesaat kemudian, ia menghembuskan
nafas terakhir.
Saya pulang dengan sedih dan rasa ingin tahu. Apa gerangan
yang dibisikkan oleh Mas Darwan pada detik-detik terakhir kehidupannya? Pada
hari berikutnya, isterinya mengantarkan nasi tumpeng ke rumahku. Saya hampir
menolaknya, karena saya tidak suka selamatan kematian yang biasa disebut
sebagai tahlilan. Isterinya bertutur, “Pak
Kiyai ingat ketika Masku berbisik padaku? Ia berpesan: Bulan ini bulan maulid.
Jangan lupa slametan buat Kanjeng Nabi saw.”
Pada saat-saat terakhir, Mas Darwan tidak ingat petak-petak
ubinya. Ia lupa isteri dan anak-anaknya. Ia lupa dunia dan segala isinya. Yang
diingatnya pada waktu itu hanyalah Rasulullah saw. Kepongahan saya sebagai
orang yang mengerti agama runtuh. Mas Darwan tidak banyak membaca hadis atau
tarikh Nabi saw. Ia memang buta huruf. Ia hanya mendengar tentang Nabi dari
guru-gurunya. Ia tidak mengerti apa bedanya sunah dan bid’ah. Ia hanya tahu bahwa
Kanjeng Nabi adalah sosok manusia suci yang menjadi rahmat bagi alam semesta.
Tak terasa airmata menghangatkan pipiku. Saya hanya bisa menyimpulkan apa yang
terjadi pada Mas Darwan dengan dua patah kata: Cinta Nabi.
Mas Darwan memiliki kecintaan kepada Rasulullah saw yang
jauh lebih tulus dariku. Kemampuanku berdebat habis dibakar oleh api cintanya.
Pesan terakhir Mas Darwan adalah definisi cinta yang paling tepat. “Tidak mungkin cinta
didefinisikan secara lebih jelas kecuali dengan cinta lagi. Definisi cinta
dalah wujud cinta itu sendiri. Cinta tidak dapat digambarkan lebih jelas
daripada apa yang digambarkan oleh cinta lagi,”
kata Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam Madarij al-Salikin.
Cinta menurut Ibn Qayyim
Cinta tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Tetapi
menurut Ibn Qayyim, cinta dapat dirumuskan dengan memperhatikan turunan kata
cinta, mahabbah, dalam bahasa Arab. Mahabbah berasal dari kata hubb.
Ada lima makna untuk akar kata hubb.
Pertama, al-shaf’
wa al-bay’dh, putih
bersih. Bagian gigi yang putih bersih disebut habab al-asn’n.
Kedua, al-‘uluww
wa al-zhuh’r, tinggi dan
tampak. Bagian tertinggi dari air hujan yang deras disebut habab al-m’i. Puncak gelas atau cawan
disebut habab juga. Ketiga, al-luz’m
wa al-tsub’t, terus
menerus dan menetap. Unta yang menelungkup dan tidak bangkit-bangkit dikatakan
habb al-ba’’r.
Keempat, lubb, inti atau saripati sesuatu. Biji disebut
habbah karena itulah benih, asal, dan inti tanaman. Jantung hati, kekasih,
orang yang tercinta disebut habbat al-qalb.
Kelima, al-hifzh wal-ims’k,
menjaga dan menahan. Wadah untuk menyimpan dan menahan air agar tidak tumpah
disebut hibb al-m’i.
Marilah kita ukur kecintaan kita kepada Rasulullah saw
dengan lima hal di atas.
Pertama, cinta ditandai dengan ketulusan, kejujuran, dan
kesetiaan. Anda tidak akan mengkhianati orang yang Anda cintai. Jika Anda
mencintai Rasulullah saw, Anda akan tetap setia kepadanya. Anda tidak akan
mencampurkan kecintaan Anda kepadanya dengan motif-motif duniawi. Anda akan
memberikan seluruh komitmen Anda.
Rasulullah saw pernah menguji kecintaan sahabat sebelum
perang Badar. Kepada para sahabat dihadapkan dua pilihan: Menyerang kafilah
dagang yang dipimpin Abu Sufyan atau menyerang pasukan Quraisy. Kebanyakan
sahabat menghendaki kafilah dagang karena menyerang mereka lebih mudah dan
lebih menguntungkan. Nabi saw menghendaki musuh yang akan menyerang Madinah dan
berada pada jarak perjalanan tiga hari dari Madinah.
Allah swt berfirman, “Dan
ingatlah ketika Allah menjanjikan kepadamu dari kedua kelompok, yang satu untuk
kamu, tetapi kamu menginginkan yang tidak mempunyai senjata untuk kamu. Allah
menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan kalimat-Nya dan menghancurkan
pusat kekuatan orang-orang kafir.”
(QS. Al-Anfal; 7).
Rasulullah saw bersabda: “Tuhan
menjanjikan kepada kalian dua pilihan “menyerang
kafilah dagang atau menyerang pasukan Quraisy”
Abubakar berdiri, “Ya
Rasulallah, itu pasukan Quraisy dengan bala tentaranya. Mereka tidak beriman
setelah kafir dan tidak akan merendah setelah perkasa.” Beliau menyuruh Abu Bakar duduk, seraya
berkata, “Kemukakan
pendapatmu kepadaku.”
Umar berdiri dan mengucapkan pendapat sama seperti pendapat Abu Bakar.
Rasulullah saw pun menyuruhnya duduk kembali.
Kemudian Miqdad berdiri, “Ya
Rasul Allah, memang itulah Quraisy dan bala tentaranya. Kami sudah beriman
kepadamu, sudah membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa yang engkau bawa itu
adalah kebenaran dari sisi Allah. Demi Allah, jika engkau memerintahkan kami agar
kami menerjang pohon yang keras dan duri yang tajam, kami akan bergabung
bersamamu. Kami tidak akan berkata seperti Bani Israil kepada Musa”Pergilah kamu bersama
Tuhanmu, beperanglah kalian berdua, kami akan duduk di sini saja. Tetapi kami
akan berkata: Pergilah engkau bersama Tuhanmu, berperanglah dan kami akan
berperang bersamamu.”
Wajah Nabi saw bersinar gembira. Beliau mendoakan Miqdad.
Beliau juga meminta pendapat Anshar, kelompok mayoritas yang hadir di situ.
Berdirilah Sa’ad bin Mu’adz: “Demi ayah dan ibuku, ya Rasul Allah, sungguh
kami sudah beriman kepadamu, membenarkanmu, dan menyaksikan bahwa apa yang
engkau bawa itu adalah kebenaran dari Allah. Perintahkan kepada kami apa yang
engkau kehendaki… Demi Allah, sekiranya engkau perintahkan kami untuk terjun ke
dalam lautan, kami akan terjun ke dalamnya bersamamu. Mudah-mudahan Allah
memperlihatkan kepadamu yang menentramkan hatimu. Berangkatlah bersama kami
dalam keberkahan dari Allah.”
Berangkatlah Rasulullah saw bersama sahabatnya meninggalkan kota Madinah untuk
menyongsong musuh yang bersenjata lengkap. Pada waktu itulah turun ayat, “Sebagaimana Tuhanmu
mengeluarkan kamu dari rumahmu dengan kebenaran, walaupun sebagian dari kaum
mukminin membencinya.”
(QS. Al-Anfal; 5).
Sikap Miqdad dan Mu’adz
menunjukkan cinta setia mereka kepada Rasulullah saw. Mereka segera menangkap
kehendak kekasihnya “Rasulullah
saw- dan mereka mengesampingkan tujuan-tujuan duniawi demi membahagiakan Nabi
saw yang dicintainya. Di dalamnya juga ada tanda kedua dari cinta, yakni
pengutamaan kehendak Rasulullah saw di atas kehendak dan keinginan mereka.
Abdullah bin Hisyam bercerita, “Kami sedang bersama Nabi saw. Ia memegang tangan
Umar bin Khaththab.
Umar berkata:” Ya Rasul Allah, engkau lebih aku cintai dari
apa pun kecuali dari diriku sendiri”.
Nabi saw berkata:” Tidak. Demi yang jiwaku ada di
tangan-Nya, belum sempurna iman kamu sebelum aku lebih kamu cintai dari dirimu
sendiri”.
Umar berkata lagi: “Sekarang memang begitu demi Allah.
Sungguh engkau lebih aku cintai dari diriku sendiri”.
Nabi saw bersabda: “Sekaranglah, hai Umar.”
Taktala Imam Ali bin Abi Thalib kw ditanya:” Bagaimana
kecintaan kalian kepada Rasulullah saw?
Ia menjawab: “Demi Allah, ia lebih kami cintai dari harta
kami, anak-anak kami, orangtua kami dan bahkan lebih kami cintai daripada air
sejuk bagi orang yang kehausan”.
Kebenaran ucapan Imam Ali itu dibuktikan dalam peristiwa
Uhud. Kepada seorang sahabat perempuan Anshar diperlihatkan anggota keluarganya
yang syahid di situ “ayahnya,
saudaranya, dan suaminya.
Ia bertanya: “Bagaimana
keadaan Rasulullah saw?”
Orang-orang menjawab: “Ia
baik-baik saja, seperti yang engkau sukai.”
Ia berkata lagi: “Tunjukkan
beliau kepadaku supaya aku pandangi beliau.”
Ketika ia melihatnya, ia berkata: “Sesudah
berjumpa denganmu, ya Rasul Allah, semua musibat kecil saja!”
Atau ketika Zaid bin Al-Datsanah ditangkap oleh kaum
musyrikin. Sambil tidak henti-hentinya menerima penganiayaan dan siksaan, ia
diseret dari Masjidil Haram ke padang pasir untuk dibunuh. Abu Sofyan berkata
kepadanya: “Hai Zaid,
maukah Muhammad kami ambil dan kami pukul kuduknya, sedangkan engkau berada di
tengah keluargamu?” Zaid
melonjak, seakan-akan seluruh kekuatannya pulih kembali. Ia membentak: “Tidak, demi Allah. Aku tidak
suka duduk bersama keluargaku sementara sebuah duri menusuk Muhammad.” Kata Abu Sufyan: “Aku belum pernah melihat
manusia mencintai seseorang seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai
Muhammad.”
“Ya Rasulullah, kelak jemputlah siapa saja dari ummatmu yang
mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari cintanya pada apapun juga termasuk
keluarganya dan dirinya sendiri , jemputlah ia yang setia kepadamu, menjalankan
sunnah yang engkau tegakkan dan yang senantiasa menggumamkan namamu dengan
ber-shalawat kepadamu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar